Al-Imam Al-Hafizh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar Al-Asqalani
Ia adalah Syaikhul Islam, pembela Sunnah, dan Hakim utama, dikenal juga sebagai Abu Al-Fadhl. Ibn Hajar disegani karena sangat cerdas dan terhormat. Ibn Hajar juga pernah menjabat sebagai Qadhi (hakim). Selain sebagai penulis, ia juga mengajar dan berfatwa. Terlahir dari seorang ayah yang merupakan salah seorang pakar di bidang Fiqih, Bahasa Arab, Qira’at, dan sastra.
Ibn Hajar lahir pada 12 Sya’ban 773H di Mesir. Ia tumbuh di Mesir, dan setelah Ibunya meninggal, ia diasuh oleh ayahnya dengan penuh kasih sayang dan perlindungan. Ayahnya tidak pernah membawanya ketoko buku, kecuali setelah ia berumur 5 tahun. Ia hafal Al Qu’an pada usia 9 tahun. Ia juga hafal kitab Al-‘Umdah, Al-Hawi, Al-Shaghir, Muthtashar Ibn Hajib Al-Ashli, Multhat Al-I’rab, dan yang lainnya. Kitab yang pertama kali ia pelajari adalh Al-‘Umdah. Ia berguru kepada Al-Jamal ibn Zhahirah di Mekkah. Selain itu, ia juga belajar kepada Al-Shadr Al-Absithi di Kairo.
Semangatnya menekuni bidang keilmuan sempat mengendur karena merasa tidak ada yang mendukungnya sampai ia berumur 17 tahun. Ia kemudian kembali belajar dengan tekun kepada salah seorang guru yang menerima wasiat untuk memeliharahnya, yaitu Allahma Al-Syams ibn Al-Qaththan yang membekalinya berbagai bidang ilmu, Fiqih, bahasa Arab, ilmu hisab, serta pemahaman atas sebagian besar isi kitab Al-Hawi. Di samping itu, ia juga belajar Fiqih dan bahasa Arab kepada Al-Nur Al-Adami. Guru Fiqih lainnya adalah Al-Anbasi.
Ibn Hajar juga belajar Fiqih kepada Al-Bulqini denga menghadiri pengajian tentang Fiqih dan membaca sebagian besar kitab Al-Raudhah, serta menuliskan catatan pinggirnya. Ia juga pernah belajar secara khusus kepada Ibn Al-Mulaqqan dan membaca sebagian besar syarh-nya atas kitab Al-Minhaj. Kemudian Ibn Hajar belajar kepada ‘Izzuddin ibn Jama’ah berbagai cabang ilmu dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu sejak 790H sampai Syaikh ‘Izzuddin wafat pada 819H. ia ikut pula mengomentari sebagian Syarh Syaikh ‘Izzuddin atas kitab Al-Jam’u Al-Jawami’.
Ibn Hajar menghadiri sejumlah pengajian yang disampaikan oleh Al-Hamman Al-Khawarizmi, belajar bahasa Arab kepada Al-fairuzzabadi, penyusun Al-Qamus. Ia juga belajar bahasa kepada Al-Ghamari dan Al-Muhibb ibn Hisyam, belajar ilmu Qira’ah Sab’ah kepada Al-Burhan Al-Tanukhi, dan ia mendalami berbagai disiplin ilmu hingga mencapai titik puncaknya.
Allah Swt. Mengaruniai Ibn Hajar dengan rasa cinta terhadap ilmu Hadits, sehingga iapun mempelajari ilmu hadits ini dengan berbagai pembahasannya. Ia belajar hadits untuk pertama kalinya pada 793H, tapi, baru mendalaminya pada 796H. mempelajari hadits, menurut pengakuan Ibn Hajar dalam tulisannya, dapat menghilangkan hijab (penghalang), membukakan pintuh berkah, memacu semangat untuk berhasil, dan mendatangkan hidayah. Oleh karena itu, Ibn Hajar serius mempelajari dari ulama hadits yang ada pada saat itu. Ia tinggal bersama Al-Zain Al-‘Iraqi selama sepuluh tahun dan mempelajari sebagian besar karyanya serta karya ulama lainnya.
Ibn Hajar Melakukan pengembaraan ke Negara-negara Syam dan Hijaz untuk belajara dari banyak guru, sehingga jumlah gurunya saat itu tidak ada yang menyamainya. Para guru memberinya izin untuk berfatwa, mengajar, dan menyebarluaskan hadits dengan menelaah, membacakan dan menulis kitab-kitab, mayoritas dalam bidang hadits yang berjumlah lebih dari 150 karya. Semua karyanya mendapat sambutan yang baik dan diterima oleh umat, terutama kitab Fath Al-Bahri Syarh Shahih Al-Bukhari.
Ibn Hajar memiliki pendirian yang teguh untuk tidak terlibat dalam jabatan pemerintahan, sehingga ketika Al-Shadr Al-Munawi menawarkan kepadanya untuk menggantikan posisinya sebagai Qadhi, ia menolaknya. Namun kemudian, Sultan Al-Mu’ayyad memercayakan kepadanya peradilan dalam bidang tertentu, yang kemudian jabatan itu diminta oleh Jalaluddin Al-Bulqini, dan ia serahkan. Hal ini mendatangkan tawaran lain baginya untuk menggantikan posisi seseorang. Lalu ia juga mendapatkan tawaran untuk menjabat Hakim Agung (Al-Qadhi Al-Akbar), hingga akhirnya dilantik Hakim Agung pada sabtu, 12 Muharram 827H. Namum dia kemudian menyesal menerima jabatan tersebut, dan penyesalannya bertambah ketika para penguasa membedakan antara orang yang memiliki keutamaan dengan yang lain. Mereka mencela, bahkan memusuhi, apabila keinginannya ditolak, tanpa mau melihat kebenaran dan kesalahan. Oleh karena itu, seorang Qadhi harus bias berada di antara orang kecil dan orang besar.
Ibn Hajar pun kemudian meninggalkan dunia peradilan setelah menggelutinya selama satu tahun, tepatnya pada 7 atau 8 Dzulqa’dah 828H. Tapi tak lama kemudian, ia diangkat kembali untuk jabatan yang sama pada 2 rajab 828H. Berita kembalinya Ibn Hajar menjadi hakim disambut gembira seluruh rakyat, karena kecintaan mereka yang sangat besar kepadanya, dan bahkan kali ini wilayah kerjanya meluas ke Negara-negara Syam. Ia memutuskan melepas jabatannya pada kamis 16 Shafar 833H. Namun untuk kesekian kalinya ia diangkat kembali pada 26 Jumudah Al-Ula 834H. Jabatan ini ia geluti sampai Kamis 5 Syawwal 840H.
Akhirnya, Ibn Hajar mengundurkan diri pada senin, 15 Zul-qa’dah 846 H, karena ia memutuskan perkara yang tidak sesuai dengan kehendak Sultan. Ketika Sultan memanggilnya, ia pun menjelaskan alasan pengambilan keputusan tersebut yang memaksa Sultan kembali mengangkatnya sebagai Qadhi. Jabatan ini terus dijalaninya sampai akhirnya ia mengasingkan diri pada 8 Muharram 849 H, karena fitnah atas dirinya yang juga di dengar Sultan. Sultan mengangkatnya kembali pada 5 Shafar 850 hingga ia tersisihkan pada akhir Dzulhijjah 850 H. ia diangkat kembali pada 8 Rabi’ Al-Tsani 852H, sebelum akhirnya, tersisih kembali dan dipecat dari jabatan tersebut. Akhirnya, ia memilih hidup Zuhud karena banyaknya fitnah terhadap dirinya dan kesusahan yang ia hadapi dalam jabatan tersebut.
Secara keseluruhan, Ibn Hajar menjadi hakim lebih dari 21 tahun. Selain itu, ia juga mengajar diberbagai sarana pendidikan di Kairo, seperti masjid-masjid, madrasah-madrasah, dan sebagainya. Ia juga diberi kepercayaan untuk mengurus menjadi guru besar pada perguruan Al-Bibrisiyyah, memberi fatwah di Dar Al-‘Adi, membacakan ceramah di Al-Azhar dan majelis Jami’ ‘Amar ibn Al-‘Ash, dan kesempatan-kesempatan lainnya yang tidak didapatkan oleh orang lain pada waktu yang bersamaan. Ia mengajarkan hadits dalam berbagai forum berdasarkan hafalannya, sehingga ia sangat masyhur, dan para ulama pun berdatangan kepadanya. Banyak toko ulama dari berbagai Mazhab yang menjadi muridnya. Para ulama pendahulunya pun mengakui hafalannya, pengetahuan dan kecerdasannya, serta semangatnya yang tinggi untuk mencari ilmu. Al-‘Iraqi mengakui Ibn Hajar sebagai salah seorang muridnya yang paling mengenal hadits.
Banyak ulama yang Huffazh menyusun buku secara khusus tentang riwayat hidupnya, diantaranya adalah Al-Jawahir wa Al-Durar fi Tarjamah Al-Hafizh Ibn Hajar, karya seorang muridnya, Al-Sakhawi. Sebagian dari naskah kitab ini berupa photocopy terdapat dari Darul Kutub Al-Mishriyyah, sedangkan naskah aslinya terdapat di Paris.
Ibn Hajar, seorang ulama yang kapasitasnya derajat keilmuan, kesalehan, dan ketaqwaan yang tinggi. Pantaslah jika kitab Bulughul Maram karyanya ini menjadi pegangan kaum Muslimin dan pegangan bagi orang-orang yang mencari Hidayah. Semoga Allah Swt, Membalas karya besarnya ini dengan sebaik-baiknya balasan, serta menyempurnakan limpahan rahmat dan ridha kepadanya. Dan semoga karyanya ini menunjukkan kita kejalan Hidayah dan Takwa. Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan seluruh alam. Rahmat dan salam-Nya semoga tercurah kepada Nabi-Nya yang mulia dan Rasulnya yang utama, yaitu baginda Muhammad Saw. Shalawat dan salam juga semoga dilimpahkan kepada keluarga dan sahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya sampai Hari Pembalasan.
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)